2.09.2011

FOTOGRAFI SEBAGAI SENI DOKUMENTER

Text By: Haviez Maulana

Girl Worker in a Carolina Cotton Mill
Lewis W. Hine (1874-1940)
Sejak ditemukannya kamera sebagai media perekam visual yang paling nyata pada bidang datar dua dimensi, kekuatan fotografi dipercaya sebagai media yang tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas. Teknologi yang dihasilkan dari fotografi memang terlahirkan untuk memburu objektivitas, karena kemampuannya dengan tingkat presisi yang tinggi dalam menggambarkan kembali realitas visual. Dengan kemampuaanya tersebut, kehadiran fotografi telah merevolusi suatu tradisi pendokumentasian yang selama ini dilakukan manusia.
Kesadaran manusia dalam melakukan pendokumentasian terjadi secara bersamaan ketika upaya dan kesadaran manusia dalam menghasilkan kebudayaan. Hal ini sudah ada sejak zaman batu ribuan tahun lalu. Ketika manusia pemburu akan menirukan binatang buruannya dalam sebuah tari ritual, sementara itu juru dongeng mengisahkan keperkasaan para pemburu, kemudian kisah-kisah itu baru mereka abadikan pada dinding-dinding goa. Sejak saat itu pula pelukis mulai merajai dunia pendokumentasian, yang dipercaya selama ribuan tahun. Seiring dengan perkembangannya, yang ditempuh dengan kurun waktu yang lama, manusia baru mampu menemukan simbol-simbol yang dapat digunakan untuk mendokumentasikan gagasan ataupun pemikiran melalui tulisan. 
Pada mulanya gambar-gambar purba di dalam goa tidak memang dimaksudkan sebagai catatan sejarah. Gambar-gambar tersebut hanya untuk maksud-maksud tertentu yang mengandung unsur ritual, misalkan untuk mempertegas mantera perburuan. Namun pada akhirnya, gambar-gambar tersebut menjadi sebuah upaya dokumentasi sebagai salah satu menyampaikan kisah yang pernah terjadi pada suatu waktu. Inilah yang kemudian menjadi dasar pencatatan sejarah, yang selanjutnya kisah-kisah sejarah dari zaman ke zaman disampaikan dalam berbagai cara, mulai dari tradisi lisan, tarian; gamabar di atas batu, kayu, prasasti, lemabaran lontar, kain, kitab-kitab; dan lebih lanjut lagi dengan menggunakan kamera foto,film, video, dan yang paling terakhir ini adalah digital. (Bachtiar, 2008:2).
Merunut pemaparan di atas, dapat dikatakan dokumentasi dalam arti sempit yaitu dokumentasi visual berarti metode yang menunjukkan kejadian berdasarkan kenyataan, berupa catatan yang ditulis atau dicetak, misalnya lukisan. Lukisan merupakan sebuah bentuk dari catatan sejarah, sisi lain yang tumbuh dari upaya itu adalah cara perupaan. Tradisi seni rupa (visual art) yang terdokumentasi pada masa “purba Nusantara” khususnya –dan masih berlaku di sebagaian masyarakatnya- menggunakan prinsip bahasa rupa Ruang-Waktu-Datar (R-W-D). Gambar merupakan sekuen yang bermantra waktu dan bisa terdiri dari beberapa adegan dengan objek yang bergerak dalam ruang dan waktu. Gambar yang terkadang mempunyai beberapa lapisan latar (layers), yang mana setipa latar memiliki ruang waktu tersendiri. Walau demikian masing-masing terkait dalam kisah yang diungkapkan tanpa menggunakan sekuen kronologis, seperti pada lukisan tradisional Bali. (Bachtiar, 2008:5).
Seni lukis tidak terlepas dari esensi kedokumentasian, karena lukisan justru menjadi dokumentasi tersendiri bagi sebuah zaman tertentu. Seperti lukisan-lukisan pada masa Renaissance, saat perubahan-perubahan besar besar dalam dunia seni lukis –yang menekankan perupaan natural dan perspektifis- yang secara faktual tercermin dalam beberapa karya lukis masa itu yang sesungguhnya merupakan suatu dokumentasi zaman Renaissance itu sendiri. 
Pada zaman Renaissance ini juga merupakan suatu proses terjadinya perubahan besar, yaitu ditemukannya mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi industri. Kemudian di zaman industri inilah fotografi muncul sebagai alat pendokumentasian, tentunya dengan teknologi yang sangat sederhana. Namun kreativitas zaman industri sayangnya menjadi pemicu manusia untuk menaklukan bumi dengan mengeksploitasinya sampai batas yang mengkhawatirkan. Puncaknya adalah pada perang dunia ke dua yang melahirkan senjata pemusnah massal. Peristiwa ini akhirnya melahirkan teori-teori sosial pasca PD II yang mengkritisi kreativitas manusia yang menghancurkan bumi sekaligus kehidupannya. Secara bertahap seiring dengan kemajuan teknologi, manusia mencoba mengubah gelombang peradaban manusia dari zaman industri menuju zaman informatika. 
Perubahan zaman yang secara subtansial –mengingat sebenarnya peralihan dari zaman ke zaman tidak bersifat “hitam putih”, sebab hingga kini pun alat masak cobek batu masih banyak digunakan untuk menggiling bumbu dapur oleh manusia zaman informatika yang setiap saat “main” internet dan selalu membawa HP di mana pun berada, yang mungkin tanpa disadari bahwa kita belum dipisahkan dengan zaman batu- zaman industry berkembang menjadi zaman informatika, fotografi berkembang pula secara pararel dengan perkembangan zaman dimaksud. (Bachtiar, 2008: 8). Ketika masa ini, bermunculan beberapa tokoh fotografer, yang memiliki kesadaran untuk mendokumentasikan perubahan sosial dan politik, seperti Alfred Stieglitz, Lewis Hine, Henri Cartier-Bresson, Dorothea Lange, dan John Stanmeyer. Jenis fotografi ini disebut dengan fotografi dokumenter atau documentary photography, Lewis Hine dan James Van DerZee adalah dua pelopor fotografi dokumenter.
Kata dokumenter dalam bahasa Inggris adalah kata yang mengarah pada sesuatu yang nyata, faktual dan realitas. Suatu rekaman visual yang berangkat dari kejadian sebenarnya. Menurut Bill Nichols, dokumenter dimulai dengan orang melihat dan menghargai berbagai image yang dipersembahkan atau menunjukkan masa lalu dari kejadian yang terjadi di dunia. Dokumenter memiliki cakupan dari zona yang sangat kompleks tentang representasi sebagaimana observasi kesenian, ada respons, dan kedengarannya harus dikombinasikan dengan seni untuk memberikan argumentasi. (Purba Negara, 2010: 20). 
Fotografi dokumenter adalah suatu reportase fotografi dari apa yang terjadi di dunia, tidak hanya yang terlihat namun juga dengan suatu cara ‘melihat’. Fotografi dokumenter mengacu pada wilayah di mana gambar fotografi digunakan sebagai dokumen sejarah. Alih-alih berfungsi sebagai sumber kesenangan seni atau estetika, dokumenter fotografi sering digunakan untuk mendorong perubahan sosial politik karena kemampuannya untuk menangkap sifat "kebenaran" dari sebuah gambar ataupun letaknya. Dalam istilah yang sederhana, fotografi sebagai media yang menggunakan gambar sebagai bukti terdokumentasi situasi tertentu.
Foto-foto yang ditampilkan dalam vena fotografi dokumenter cenderung mengejutkan, mengerikan, hidup dan intens untuk membuktikan suatu titik dan membangkitkan emosi pemandang. Beberapa contoh yang paling umum, dokumenter foto-foto yang ditampilkan dalam surat kabar dan majalah modern. Melalui gambar ini, masyarakat mengetahui kebenaran informasi tentang budaya, politik, dan situasi lingkungan. Mengingat fakta ini, tidak mengherankan bahwa fotografi dokumenter meledak menjadi kesadaran Amerika pada masa Depresi Besar 1930-an ketika fotografer yang mendokumentasikan kemiskinan meluas. 
Beberapa fotografer biasanya memiliki suatu cara ‘melihat’ masing-masing dalam menghasilkan karya fotonya. Karya fotografer Amerika Lewis Hine (1874-1940) menyatukan perspektif moral dan keterlibatan sosial untuk sebuah aplikasi media penyadaran dengan fotografi. Khususnya dalam siklus tentang pekerja anak di Amerika Serikat, ia bangkit melampaui jurnalisme bergambar untuk menciptakan model awal bagi foto jurnalistik kemanusiaan. ( http://www.all-art.org/history658_photography13-13.html )
Berbeda dengan Lewis W.Hine, Alfred Stiglitz (1864-1946) tidak menyamakan 'kebenaran' dengan upaya setelah pertentangan internal zaman, masyarakat, atau sistem politik. Bagi Stieglitz, kebenaran tersirat bukan keseimbangan suatu kebenarannya, tetapi suatu keseimbangan batin dalam gambar itu sendiri, dalam kata lain, itu adalah konsep estetika. Namun juga, dia tidak menganggap aspek sosial itu gagal baginya. Dalam karya The Steerage yang memiliki estetika yang tegas dalam komposisi gambarnya ini, telah memunculkan sebuah objektivias baru dalam dunia fotografi. Selain itu dalam karya tersebut menurutnya menampilkan aspek sosial yang terjadi pada penumpang kapal yang terbagi atas beberapa kelas yang mana setiap kelas tersebut dibentuk berdasarkan pada kelas sosialnya. Foto tersebut diambil oleh Stieglitz karena kejenuhan yang melekat dalam suasana bosan dari kelas pertama yang kemudian dia keluar menuju kelas kedua dan ketiga pada perjalanan dengan kapal uap menuju Eropa. ( http://www.all-art.org/history658_photography13-12.html )

Migrant Mother, Nipomo, California
Dorothea Lange (1895 – 1965)
Seiring dengan perkembangan zamannya fotografi dokumenter menjadi suatu media dalam mengkritisi realitas sosial politik yang terjadi di Amerika. Dorothea Lange (1895 – 1965), salah satu dari beberapa fotografer perempuan di Amerika yang Foto-foto karyanya memotret para korban Depresi Besar secara manusiawi dan sangat mempengaruhi perkembangan bidang fotografi dokumenter. Dengan bekal pengetahuan sosial-politik yang diperoleh dari suaminya Paul Schuster Taylor seorang Professor Ekonomi di Universitas California, Berkeley. Dorothea dan Taylor membuat sebuah pendokumentasian mengenai kemiskinan di pedesaan dan eksploitasi petani bagi hasil dan buruh migran. Foto-foto karya Lange yang membuat hati pedih dan merupakan ikon era Depresi Besar di Amerika Serikat. Salah satu foto terbaiknya dari Lange adalah Migrant Mother. Dampak foto tersebut didasarkan pada sosok yang memperlihatkan kekuatan dan permintaan pekerja migran. ( http://web.archive.org/web/20020602103656/http://www.newtimes-slo.com/archives/cov_stories_2002/cov_01172002.html#top ).


Japanese-Americans Children Pledging Allegiance 1942
Dorothea Lange (1895 – 1965)
Kemudian pada tahun 1941, Dorothea memotret peristiwa evakuasi paksa orang Jepang-Amerika ke kamp-kamp relokasi. Bagi sebagian pengamat, foto Lange yang memperlihatkan anak-anak Jepang-Amerika bersumpah setia kepada bendera Amerika Serikat tidak lama sebelum mereka dikirim ke kamp-kamp interniran, mengingatkan kembali pada mimpi buruk kebijakan menahan orang tanpa tuntutan pengadilan dan tanpa kesempatan naik banding. Namun, Foto-foto karya Lange begitu kritis sehingga foto-foto tersebut disita oleh Angkatan Darat. (http://select.nytimes.com/gst/abstract.html?res=F10B12F73554177A93C6A8178BD95F418685F9&scp=4&sq=Dorothea+Lange&st=p )

Selain sebagai media refleksi terhadap realitas sosial-politik, fotografi dokumenter juga mendalami masalah kebudayaan disuatu tempat. Salah satunya adalah John Stanmeyer seorang fotografer adalah salah satu pendiri agensi foto bergengsi, VII. Ia telah bekerja di lebih dari 70 negara, berfokus pada isu sosial, politik, konflik, kesehatan, dan hak asasi manusia. Akhir-akhir ini ia mendalami masalah pelestarian budaya yang tengah mengalami proses pemusnahan. Berawal ketika dia meliput peristiwa tragedi Bom Bali I tahun 2002 yang menyeruak dibenaknya yang teras ada cahaya berbeda yang dia rasakan di Pulau Dewata tersebut. Dan ternyata dari tragedy tersebut, tradisi dan kebudayaan Bali telah menyita perhatiannya. Bersama keluarganya dia menetap ditengah persawahan desa Cangu, Bali. Sepanjang 2003-2008, Stanmeyer melalui hari-harinya dengan mendokumentasikan peristiwa tradisi dan kebudayaan di daerah tersebut, yang kemudian karya fotonya diterbitkan dalam sebuah buku esai foto yang berjudul Island Of The Spirits. Menurutnya kebudayaan di Bali adalah sebuah contoh di mana budaya lokal mampu bertahan di tengah pengeboman, tak hanya bom sungguhan, tapi juga pengeboman kebudayaan Barat. Dan hingga kini mereka masih mempertahankan akarnya.