4.27.2011

AKU INGIN HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

Chairil Anwar, 26 Juli 1922 - 28 April 1949.


AKU

Kalau sampai waktuku
'ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

------

Apa yang menjadi doanya untuk hidup seribu tahun lagi benar-benar terwujud. Walau raga kembali dikandung bumi, namun jiwanya tetap menjadi sebuah inspirasi yang terus hidup.

Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri, Riau, Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Chairil masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.
Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra.
Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti:Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Chairil seorang "penggila" buku yang rakus. Ia melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.
Menurut H.B. Jassin, kalau sudah membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.

Bersama temannya, Asrul Sani, Chairil sering mencuri buku di toko buku yang dulu bernama Kolf dan van Dorp di daerah Juanda, saat ini telah berubah menjadi kantor Astra.

Suatu kali mereka melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra.
`Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada Asrul Sani. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."
Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama.
Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil.
"Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul.
"Hati saya deg-degan setengah mati.”
Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."
Begitulah tulisan tentang Chairi Anwar, yang dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman.

Lain cerita ia pernah mentraktir temannya makan dengan menggunakan uang hasil menjual jaket temannya itu yang beberapa waktu lalu ia pinjam.

Chairil pemuda yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak memiliki pekerjaan tetap, penyakitan, tingkahnya menjengkelkan. Walaupun begitu dia bisa menjadi contoh yang baik dalam ketotalannya berkesenian.
Berbeda dengan Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, Chairil menjalani hidup semata-mata hanya untuk puisi.

Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah.

"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."
Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.

Di kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan menyerupai orang indo. Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status ekonomi, dan intelektualitas.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil.
Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah.

Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil mengembuskan nafas terakhir pada usianya yang hampir ke 27.
Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.
( dari berbagai sumber)