2.15.2011

SAJAK SAJAK ERVIN KUMBANG

Sajak Ini Memang Kutulis Buatmu, Puan
 :papua

di dalam mata televisi, masih ada mata lagi, di dalamnya, masih ada mata lagi. televisi kita yang sibuk menata cadar pada wajahnya yang pertama. televisi yang meratap karena kucabut cadarnya. sebab, engkau lebih cantik dari televisi. dan aku tak mau televisi menyembunyikan kecantikannya

seperti televisi, cantikmu pada mata. di dalam matamu, masih ada paruparu lagi, masih ada pipa darah lagi, masih ada embun yang turun pelanpelan mengikuti lagu jantung lagi, dan barangkali seplastik air mata

pernahkah kau uji kecantikanmu? masuk ke dalam televisi yang menophause diperkosa nasionalisme? maka mendaratlah kau di wamena, atau serui, atau biak

di langkah pertama:

dengan kakimu, kau harus remukkkan contact lens yang menyebabkan matamu nyaris seindah fajar muda. di papua, yang kabur di mata mungkin lebih asli

di langkah kedua:

dengan tanganmu, kau mesti koyakkan baju yang nyaris selalu cemerlang di tubuhmu. di sana, kecuali aku, siapa ambil peduli misteri tubuhmu? lebih dari sekedar mulus kulitmu, mereka lebih tahu bagaimana misteri di sebaliknya. kulit bukan lagi tirai, sebab masa lalu terlalu terbiasa memaksa mengubah kulit dengan merah daging: setiap kali dendam dikisahkan

tak ada lagi kesempatan mata pace sebagaimana mataku. sebab mereka sedang berlari-lari menyusun kembali usus yang terburai. matamu takkan dipergunjingkan, tubuhmu takkan dikuakkan

aku ingin lihat kau telanjang dan mendengarkan ribut di jantung mama-mama!

bergeserlah sedikit! tubuhmu yang mempesona itu menutupi mata terakhir televisi. mata terakhir yang sedang kelimpungan menandingi mata air di mata mama-mama
Jakarta, November 15 2009


Pada Sebuah Festival Blues Di Negeri Kami

kalau lelaki kuning kelahiran semarang menjambak gitar, penguasa mana berani memperkarakan sipit matanya?
nadanya bahkan hitam
nafasnya bau georgia

negro sudah lihai menanak nasi. bule sudah pandai mengukus bolu pandan. dan anakanak melayu keranjingan menyuling bir

doa, doa jualah yang mengupak kulit kami. o, betapa kami mau telanjang saja sampai waktu menyambut mati

dan seorang pendeta negro yang remaja menghembuskan mantra masa lalu lewat setangkai harmonika. menjelang hebat tuak, bibir tebalnya gelegak memerintahkan kayukayu amerika yang berdebu merangkak dan melarungkan diri di kali ciliwung

Jakarta, November 9 2009



*Ervin Kumbang. Penyair merangkap penyuka musik blues. Tinggal di Jakarta.