1.17.2011


Jadwal Acara Diskomfest #4 – Culture Expansion
COSTPLAY – Sabtu, 22/01/2011
OPENING SHOW – Sabtu, 22/01/2011
MURAL BERJAMAAH SISWA SMA SE-JOGJA – Sabtu, 22/01/2011
PAMERAN KOMUNIKASI VISUAL – Sabtu, 22/01/2011
ANGKRINGAN GRAFIS – 23,24,25/01/2011
RENCANG RANCANG (konsultasi desain) – 23 ,24,25,26/01/2011
MINI CAMP BAZAAR – 22,23 ,24,25,26/01/2011
NONTON THE BEST KARYA VIDEO – 22,23 ,24,25,26/01/2011


This is not about being trendy in mature fashion,
We just trying to fit in our culture expansion

Seorang rapper indie asal Indonesia pernah bilang karena ada salah satu cerita yang lampau di kebudayaan asing sana, mereka memiliki kemahiran melantunkan (sebut saja) seratus tujuh puluh sembilan dalam waktu satu menit: rap itu budaya perlawanan. Kalimat tersebut pun memang mendeskripsikan tentang asal-usul rap itu sendiri, namun saya tidak akan membahas rap. Budaya perlawanan dikategorikan menjadi sebuah ciri khas tentang penolakan pada sesuatu yang telah lahir atau sengaja dilahirkan. Pendirian budaya sendiri tak jauh dari masyarakat yang mengembangkannya. Namun, akan berkembang semrawut ketika masyarakat yang diibaratkan menjadi baking powder pada roti terlalu semena-mena dalam takarannya. Pas. Ya! Menjunjung tinggi dengan bangga ciri khas yang sudah menurun dari tiap generasi, baik yang dikembangkan maupun yang diteruskan begitu saja. Jadi sangat menarik saat kita merasa kasmaran pada yang Indonesia, negara kita ya, man!
Salah nggak sih dengan adanya penyampuran dalam tata yang sudah ditata? Saya baru saja menyebutnya, kata ‘man’ tak ada dalam sapaan Indonesia. Itulah budaya Indonesia, makin hilir mudik, pucat pasi, tentang kepolosan suatu tatanan pikiran yang didoktrin budaya-budaya asing, karena hey banyak yang keren di luar sana, lalu blah-blah-blah bicara terik tarik urat mendemonstrasikan omong kosong. Oke, ini masalah aspirasi, akan tetapi bagaimana bila barang sepuluh menit tiap harinya menyisihkan spasi untuk globalisasi, modernisasi, dan westernisasi; bisa saja segala macam trend budaya asing telah pekat melekat dengan atau tanpa white space untuk sekedar berpikir: westernisasi lebih cepat merauk kebiasaan kita ketimbang sikap global dan modern, karena kebarat-baratan lebih cepat meninggalkan jati diri ketika kita nyaman dengan budaya milik orang asing.
Budaya Indonesia takkan luntur ketika pewarna tersebut tak palsu. Kita memiliki warna-warna asli dari tiap daerah. Baking powder tadi adalah ramuannya ketika serbuk-serbuk yang saling mendukung atas nama kualitas harkat dan martabat bangsa yang bukan sekedar kuantitas pulau-pulaunya. Nasionalisme hendaknya muncul pada benih-benih segar yang bermunculan karena kedewasaan rasa cinta pada rasa cipta, karya, dan karsa mudah ditanamkan pada dininya usia. Bayangkan saja, atau lebih cepatnya kita lihat saja, perwajahan budaya visual yang akan ditangkap oleh mata kemudian ditransfer ke otak atau hati. Seperti puisi kontemporer karangan Jeihan berikut ini.

MATA
seorang dokter mata menguji penglihatan seorang pasien
dan berkata, baca ini:
Z A M A N K I T A
si pasien kemudian membacanya:
Z A M A N G I L A
maka sang dokter memberi ia kacamata super jengkol


Memang betul nyatanya seperti itu, seminus apapun tingkat penglihatan tersebut, itulah yang ditangkap. Jati diri budaya Indonesia akan kekal menjadi satu cangkupan yang disebut zaman gila. Entah itu hanya sok menahu atau memang tahu tapi enyahlah kau, siapa kau, aku ya aku.
Sanjunglah sebuah east, walau memiliki dua huruf dari belakang yang sama dengan west, tetap saja berbeda haluan. Kedewasaan akan tampak pada visualisasi yang kita pamerkan atau pendam sekalipun, hingga menjadi budaya perlawanan. Tetapi coba raihlah penyesuaian yang setara dengan budaya nasional kita, walau hanya sekedar usaha berkomunikasi antar budaya nasional menjadi komunikasi antar budaya dunia tanpa meninggalkan pakaian yang telah dirajut demi panasnya matahari dan basahnya hujan tanpa salju yang berjatuhan.
Ini hanyalah kisah fashion kita untuk dua musim, hanya tuk sekedar mengembangkan dan menyelematkan raungan rajutan komunikasi antar budaya nasional atau ucap so long (yang padahal ingin minta to-long).

Aulia Vidyarini