1.01.2011

“Gemuruh Kisah Masyarakat Pesisir Pantai”

Essay tentang film “Purnama di Pesisir”
Oleh: Ario Sasongko

(Tulisan ini mengandung spoiler yang akan membahas isi dan akhir cerita)

Butiran pasir yang bulat, hangat dan lembut, akan segara menyambut manusia-manusia yang datang dengan bertelajang kaki di sebuah pesisir pantai. Sempatkan waktumu untuk duduk sejenak di atas butiran pasir itu, pandangi ombak yang bergulung-gulung. Buka telingamu, dan dengarkanlah gemuruh angin yang berjejal mencoba masuk ke dalamnya, pejamkan matamu dan gemuruh angin itu akan terdengar bagai ribuan kisah anak manusia di atas bumi ini, cobalah bercengkrama dengan segala kisah itu. Kemudian menjelang pergantian siang malam, bukalah matamu kembali, dan di ujung cakrawala sana, kau akan pandangi rona-rona senja. Nikmatilah nuansa sepuhan warna oranye jingga dengan aroma air laut, matahari yang melambai perlahan menuju balik lautan sejauh pandang mata. Kelak kesemua hal itu akan menjadi hal yang paling kau rindukan dalam hidupmu. Tidakkah orang-orang yang hidup di pesisir pantai, dalam satu dua hal, menjadi orang-orang yang sangat beruntung, karena menjadi penikmat panorama indah tersebut untuk seumur hidup mereka? Jika suatu kali kau menonton film pendek “Purnama di Pesisir,” rasanya kau justru mendapat jawaban yang berbeda. 

Film ini sendiri bercerita tentang kehidupan masyarakat pesisir pantai nelayan yang diwakili oleh tokoh anak perempuan bernama Nirma. Karena alasan pembangunan tanggul di pesisir pantai, rumah Nirma dan warga lainnya harus digusur oleh pihak kontraktor. Nirma berdalih bahwa Ayahnya belum pulang selama berhari-hari, sehingga rumah Nirma urung untuk digusur. Padahal, sebenarnya Ayah Nirma telah meninggal dan jasadnya mulai membusuk di dalam rumah. Tadinya Nirma hendak secara diam-diam membakar jasad Ayahnya di krematorium di dekat desa tersebut pada malam hari, namun rencana itu diketahui oleh beberapa orang warga. Pada akhirnya, rumah Nirma juga ikut digusur demi pembangunan tanggul, dan Nirma, seorang anak kecil pesisir pantai yang kini sebatang kara, harus seorang diri menghadapi keadaan bahwa dia sudah kehilangan rumahnya.

Film ini menawarkan sebuah nuansa yang sangat jauh dari keelokan pesisir pantai yang selama ini telah disanjung-sanjung atas nama industri pariwisata. Pada kenyataannya, saya pribadi menyadari bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, dan sangat bertolak belakang sebenarnya dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang dahulu mengutamakan sektor pertanian. Kritik sosial tentang masyarakat desa nelayan yang rasanya sudah terlupakan inilah, menurut saya yang menjadi dasar pembangunan kisah di dalam film “Purnama di Pesisir.” Film ini berhasil memaparkan fakta bahwa, pesisir pantai tidak hanya sekedar romantisme tentang butir pasir yang lembut, nuansa hangat sepenjang hari, dan keelokan matahari terbenam di senja kala.

Kritik itu akan terasa sekali jika kita mengamati beberapa adegan awal film, yang diwakilkan oleh seorang tokoh yang tampaknya mengalami sedikit kelainan jiwa. Tokoh ini bercerita tentang kisahnya yang telah kehilangan anak dan istrinya, dan diperlihatkan pula adegan yang menunjukkan bagaimana sulitnya mendapatkan ikan di daerah itu karena air laut yang sudah tercemar. Kemudian, melalui sudut pandang seorang anak kecil bernama Nirma, kita akan ikut terbawa dalam kehidupan seorang anak pesisir pantai di tengah situasi sosial yang dialaminya dan seorang diri mencoba menyelesaikan masalah tersebut.

“Purnama di Pesisir” telah berhasil menggambarkan sisi lain kehidupan dari romantisme pesisir pantai, dan keelokan alam yang selama ini diagungkan Indonesia. Sangat menyenangkan (jika dapat dikatakan demikian) ketika saya menyadari bahwa anak-anak muda, para pembuat film ini, memiliki kesadaran akan alam dan hal-hal lain yang dialami oleh golongan masyarakat yang “terlupakan.” Semangat akan tema-tema semacam inilah, yang kemudian membuat film “Purnama di Pesisir” mendapat apresiasi yang baik di lingkungan festival internasional. Tema film ini, kemudian menjadi alternatif yang dibutuhkan masyarakat, ditengah hegemoni tema-tema film industri Indonesia yang hanya mencangkup genre-genre Horror, drama percintaan dan juga komedi, yang kesemuanya ditambah dengan bumbu-bumbu sensualitas perempuan.

Esok-esok, ketika anda berjalan di pesisir pantai, menikmati butir pasir yang lembut dan hangat di kaki anda, memandang langit senja dengan aroma jingga oranye di atas sana. Dengarkanlah gemuruh angin di telinga anda, mungkin dari gemuruh itupula, ada akan mendengar kisah tentang masyarakat pesisir pantai lainnya.

*“Purnama di Pesisir” adalah sebuah film pendek yang disutradarai oleh perempuan muda bernama Chairun Nissa, telah masuk ke dalam berbagai Festival Film Internasional serta meraih berbagai penghargaan, antara lain Rotterdam International Film Festival, Rome Independent Film Festival, Melbourne and Sidney Indonesian Film Festival, dan berbagai Festival Film lainnya.